4 Desember 2025 | Berita
Jakarta, 4 Desember 2025 – PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) memproyeksikan perekonomian Indonesia tahun 2026 tetap tangguh dengan pertumbuhan sekitar 5,28%, didukung konsumsi rumah tangga yang solid, program prioritas pemerintah, dan menguatnya peran ekonomi serta keuangan syariah nasional. Proyeksi ini disampaikan dalam BSI Sharia Economic Outlook 2026 bertema “Indonesia 2026: Resilient, Bold, and Promising,” yang disusun oleh Office of Chief Economist (Kantor Ekonom) BSI.
Dalam paparannya, Chief Economist BSI, Banjaran Surya Indrastomo, bersama tim ekonom BSI lainnya, menjelaskan bawa analisis outlook 2026 dibangun di atas delapan pilar utama: normalisasi perdagangan global, realokasi aset ke emerging markets, menguatnya daya tarik Rupiah, program prioritas pemerintah, “Efek Purbaya” pada kebijakan ekonomi, daya tahan konsumsi, agenda hilirisasi, serta proyeksi indikator ekonomi utama. “Kombinasi delapan faktor ini membuat Indonesia masuk ke 2026 dengan fondasi yang relatif kuat, meskipun lanskap global tetap penuh ketidakpastian,” ujar Banjaran.
Tim ekonom BSI mencatat, ekonomi global pada 2026 diperkirakan tumbuh sekitar 3,2% berdasarkan proyeksi IMF, dengan Kawasan ASEAN diproyeksikan menjadi salah satu blok dengan prospek paling menarik, seiring pergeseran pusat pertumbuhan ke Asia.
Di sisi lain, dunia masih menghadapi lima dinamika utama: risiko utang negara (sovereign debt risk), potensi asset bubble akibat valuasi pasar yang terlalu tinggi, perang dagang yang terus membayangi, pertumbuhan yang terfragmentasi, serta perubahan lanskap perdagangan akibat AI-driven productivity. “Di tahun 2026, risiko utang dan asset bubble membuat investor lebih selektif, sementara AI perlahan mengubah struktur perdagangan dunia,” jelas Banjaran.
Sejalan dengan tren inflasi global yang menurun, tim ekonom BSI memproyeksikan The Fed akan memangkas suku bunga acuan sekitar 50 bps sepanjang 2026 ke kisaran 3,25-3,50%, diikuti penurunan imbal hasil obligasi AS. Normalisasi ini membuka ruang bagi rotasi aset ke emerging markets termasuk Indonesia, di tengah kekhawatiran valuasi pasar yang terlalu mahal di negara maju.
Di sisi komoditas, Banjaran menjelaskan bahwa emas tetap menjadi salah satu aset lindung nilai favorit. Data World Gold Council yang diolah tim ekonom BSI menunjukkan, bank sentral dunia kembali agresif menambah cadangan emas, sementara permintaan emas untuk investasi hingga kuartal III 2025 telah melampaui total tahun sebelumnya. Harga emas global pun masih bertahan di sekitar level tertinggi sepanjang masa.
“Permintaan emas yang kuat dari bank sentral dan investor, ditambah pelemahan relatif Dolar AS, membuat prospek bisnis emas tetap menarik pada 2026. Bagi perbankan syariah, ini membuka ruang pengembangan produk emas yang lebih terintegrasi dengan ekosistem keuangan syariah,” kata Chief Economist BSI tersebut.
Di tingkat domestik, tim ekonom BSI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,28% pada 2026, naik dari sekitar 5,04% pada 2025. Pertumbuhan ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang tetap menjadi kontributor utama PDB, penguatan investasi terutama PMDN, serta belanja fiskal yang masih ekspansif namun lebih prudent.
Inflasi 2026 diperkirakan berada di kisaran 2,94%, tetap di dalam target, dengan risiko utama berasal dari volatile food akibat kondisi iklim. BI Rate diperkirakan dapat turun bertahap ke 4,25% di akhir 2026, seiring pelonggaran global dan inflasi yang terjaga. “Ruang pelonggaran moneter terbuka, tetapi tidak akan agresif. Stabilitas Rupiah dan pengelolaan ekspektasi inflasi tetap menjadi fokus utama otoritas,” tutur Banjaran.
Sementara itu, tim ekonom BSI menilai stabilitas Rupiah akan ditopang oleh tiga faktor: potensi rebound aliran modal asing, pengelolaan devisa melalui cadangan yang berada di kisaran US$150 miliar, serta optimalisasi instrumen SRBI dan pasar obligasi domestik. Yield SBN 10 tahun diproyeksikan rata-rata sekitar 6,49% pada 2026, tetap menarik bagi investor dengan risiko yang terukur.
Menurut Banjaran, 2026 juga akan ditandai oleh perluasan implementasi berbagai program pemerintah, mulai dari ekosistem makan bergizi gratis, penguatan kesehatan dan pendidikan, dukungan UMKM, hingga program pangan dan energi, yang diperkirakan mendorong permintaan domestik dan investasi di banyak sektor terkait, dari pertanian sampai logistik pangan.
Tim ekonom BSI menambahkan, apa yang mereka sebut sebagai “Efek Purbaya” mencerminkan kombinasi kebijakan yang lebih ekspansif namun tetap berhati-hati (prudent) di sisi fiskal dan keuangan. Penempatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp276 triliun di perbankan, termasuk BSI, diharapkan memperkuat likuiditas, menurunkan cost of fund, dan mendorong pertumbuhan pembiayaan kembali ke kisaran dua digit untuk mendorong kembali kegiatan ekonomi khususnya melalui keterlibatan aktif dan kontributif sektor swasta, sehingga terjadi penciptaan lapangan kerja dan pemulihan kelas menengah.
Dari sisi produksi, Banjaran menekankan bahwa hilirisasi tetap menjadi salah satu mesin utama pertumbuhan jangka menengah. Proyeksi sektoral BSI menunjukkan percepatan di industri pengolahan, perdagangan, akomodasi & makan minum, transportasi, serta jasa informasi & komunikasi, yang seluruhnya tumbuh di atas rata-rata PDB pada 2026.
Tim ekonom BSI mencatat bahwa realisasi investasi triwulan III 2025 telah mencapai Rp491,4 triliun, tumbuh 13,9% yoy, dengan PMDN Rp279,4 triliun dan PMA Rp212 triliun. Ke depan, hilirisasi dan pergeseran prioritas kebijakan diperkirakan akan menjadikan PMDN sebagai motor utama investasi, sementara PMA akan lebih selektif dan berfokus pada sektor bernilai tambah tinggi dan berorientasi ekspor.
Dalam seluruh dinamika tersebut, ekonomi dan keuangan syariah diyakini menjadi bagian integral dari dorongan pertumbuhan nasional. Meskipun kedalaman pasar keuangan masih terbatas, Banjaran menegaskan bahwa keuangan syariah Indonesia justru menunjukkan momentum pertumbuhan yang kuat. Total aset keuangan syariah diperkirakan naik dari Rp3.158 triliun pada 2025 menjadi sekitar Rp3.508 triliun pada 2026, dengan pertumbuhan sekitar 14,8%. Aset perbankan syariah sendiri diproyeksikan menembus Rp1.205 triliun, dengan pembiayaan sekitar Rp794 triliun yang tumbuh hampir 11,9%, dan DPK mencapai Rp952,9 triliun dengan pertumbuhan 12,55%.
“Keuangan syariah tidak lagi sekadar pelengkap, tetapi telah menjadi salah satu pilar pertumbuhan sektor keuangan nasional. Pertumbuhan aset, pembiayaan, dan DPK perbankan syariah yang konsistem dua digit menunjukkan kepercayaan dan preferensi masyarakat yang terus menguat,” ujar Chief Economist BSI.
Di hilir, tim ekonom BSI melihat industri halal menjadi penguat penting bagi kinerja perdagangan dan konsumsi. Konsumsi produk halal domestik diperkirakan mencapai US$259,8 miliar pada 2026, tumbuh sekitar 5,88%, dan menyumbang lebih dari 30% konsumsi rumah tangga nasional. Di sisi ekspor, produk halal berkontribusi sebesar 20% dari total ekspor barang non-migas Indonesia, diproyeksikan naik menjadi US$73,9 miliar dengan pertumbuhan sekitar 8,73%, termasuk ekspor non-sawit yang terus meningkat.
Kinerja konsumsi tersebut juga tercermin dari BSI Muslim Consumption Index yang dikeluarkan oleh tim ekonom BSI, yang menunjukkan bahwa konsumsi Muslim di Indonesia “tumbuh tetapi makin selektif”. Tren kenaikan terlihat pada kategori makanan-minuman halal, kosmetik halal, kesehatan, pendidikan, dan perjalanan ibadah. Tim ekonom BSI menilai pola konsumsi ini akan menjadi bantalan pertumbuhan ekonomi, sekaligus peluang bagi sektor-sektor yang terkait langsung dengan gaya hidup halal dan keuangan syariah.
Selain itu, penerimaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya (ZIS-DSKL) diproyeksikan naik dari Rp44,56 triliun pada 2025 menjadi Rp52,66 triliun pada 2026, tumbuh 18,17% yoy. Tim ekonom BSI menyebut bahwa meningkatnya preferensi berbagai masyarakat berpotensi memperkuat fondasi pemerataan ekonomi, terutama bila diintegrasikan dengan pembiayaan syariah formal dan program-program pemberdayaan pemerintah.
Menutup paparannya, Banjaran menegaskan bahwa Indonesia memiliki peluang besar memasuki fase pertumbuhan yang lebih kuat dan inklusif di 2026. “Tantangan tetap ada: risiko global, kedalaman pasar keuangan yang masih terbatas, dan kebutuhan menciptakan lebih banyak pekerjaan berkualitas. Namun, dengan kebijakan yang tepat dan pemmanfaatan penuh potensi ekonomi syariah, Indonesia tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga melompat ke level pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” tutup Chief Economist BSI, Banjaran Surya Indrastomo.